Lukisan untuk dokter Arvin
michi
(KHAIRUNNISA B.A)
“aaaaaaaaaaaaaaaaaa”
Setelah kejadian malam
itu semuanya lenyap. Semua gelap. Semua yang dulu bisa kulihat kini tak dapat
lagi kulihat. Yang dapat kulihat semuanya hanya ‘gelap’ tak ada cahaya. Tak
dapat mengetahui apa yang sedang terjadi disekelilingku. Aku hanya bisa
mengandalkan pendengaranku. Tapi itu semua sia-sia. Aku tidak mau hidup dalam
kebisuan seperti ini. Wajahku yang muram, seakan menandakan hariku kini seakan
suram.
aku muak dengan semua
ini. sangat muak. Kehidupanku berubah. Berubah setelah malam pameran lukis itu.
Aku yang biasa menghabiskan waktuku untuk melukis kini hanya dapat terdiam
duduk dikamar. Aku benci semua ini. aku merindukan rasanya memegang kuas
lukisku. Aku rindu saat aku duduk berjam-jam untuk mencari dan melukis objek
yang tepat untu ku lukis. Aku rindu itu semua. Aku rindu. Sampai-sampai rasa
rinduku tak terkendali dan membuahkan emosi yang meledak-ledak. Sampai saat
puncaknya, aku menyuruh tanteku untuk membakar semua kavas dan seluruh alat lukis
yang aku punya.
Aku hanya bisa menangis
dikamarku. Tapi tanteku tak membiarkan aku terpuruk dalam kegelapan yang sangat
menyiksa ini begitu lama. Tanpa sepengetahuanku, tante mencari rumah sakit
untuk operasi mata di daerah Jakarta. Tante bilang dia mempunyai kenalan
disana, namanya Dokter Riza. Aku menjalani rawat inap dirumah sakit di Bilangan
Jakarta itu sampai ada orang yang mau mendonorkan matanya untukku. Disana aku
berkenalan dengan Dokter Arvin. Dia adalah dokter yang selalu memeriksaku.
Dokter Riza sudah menugaskan dokter Arvin untuk menjagaku. Bisa dibilang
sekarang dokter Arvin adalah dokter khusus yang diminta oleh dokter Riza untuk
membantuku mengontrol emosiku dan menunggu sampai aku dapat melihat dunia ini
lagi.
Setelah aku berkenalan
dengan dokter Arvin aku sudah kembali menjadi diriku yang dulu. Lebih
ceria, lebih sabar dan lebih bisa menerima keadaanku yang sekarang. Aku sudah merasa dekat sekali dengan dokter Arvin. Bagaimana tidak, sekarang waktuku aku habiskan dengan dokter Arvin. Kurasa aku mulai nyaman dengan dokter Arvin. Ya walau aku tau, jangankan mengenalnya sampai jauh, melihat wajahnyapun aku belum pernah. Ah tapi biarkan semua ini berjalan seperti air mengalir.
ceria, lebih sabar dan lebih bisa menerima keadaanku yang sekarang. Aku sudah merasa dekat sekali dengan dokter Arvin. Bagaimana tidak, sekarang waktuku aku habiskan dengan dokter Arvin. Kurasa aku mulai nyaman dengan dokter Arvin. Ya walau aku tau, jangankan mengenalnya sampai jauh, melihat wajahnyapun aku belum pernah. Ah tapi biarkan semua ini berjalan seperti air mengalir.
Sampai saat itu “dok”
“iya Anya? Kenapa?” “nanti kalo aku udah bisa ngeliat lagi, aku mau orang yang
pertama aku liat itu dokter Arvin” “iya Anya, iya. Saya pasti selalu disamping
kamu. Begitupun juga nanti saat kamu udah ngeliat lagi J.”
Kata dokter Arvin. “bener ya dok” Tanyaku. “iya Anya. Yaudah katanya kamu mau
duduk di taman kan?. Yaudah sekarang saya anterin nyebrang ya J.”
Akupun mengangguk tanda setuju. Tapi,
“daaakkkkkkkk” aku
merasa ada yang medorongku dan aku terjatuh. Tapi sepertinya aku terjatuh di
rumput. Suara yang terdengar seperti suara benturan itu masih ter-ngiang di
telingaku. Suara benturan. Suara ini… suara ini sama seperti suara kecelakan
yang merenggut pengelihatanku malam itu. “dok, dokter Arvin??? Dokter dimana
dok?” tanyaku. Tapi dokter Arvin tak menjawabnya. Tak lama setelah kaliamt itu
selesai, aku merasakan suasana disekelilingku mendadak ramai. “Anya, ayo
berdiri nya. Ini saya dokter Riza. Ayo kita balik ke kamar kamu ya”. Kata
dokter Riza yang langsung menuntunku berjalan menuju kamarku. “tapi, dokter
Arvin? Kema…” belum sempat kalimat yang ku ucapkan selesai “dokter Arvin ya?”
suasana mengehning “ah tadi dia mau ke toilet” selak dokter Riza.
Beberapa minggu setelah
itu aku menjalani operasi transfer mata. Aku ingat betul, sebelum aku dibawa
masuk ke ruang operasi, aku bertanya pada perawat yang membawaku menuju ruang
operasi “sus, dok, dimana dokter Arvin? Kok dari beberapa minggu yang lalu aku
gak denger suara dia ya? Dia kemana?” tanyaku. Lalu mendadak perjalanku keruang
operasi terhenti sebentar. Aku merasakan roda tempat tidur tempat aku berbaring
ini seakan berhenti. “Anya, dokter Arvin, dia lagi cuti untuk beberapa minggu.
Tapi dia titip salam sekaligus permintaan maafnya buat kamu karena dia gak bisa
menemani kamu operasi” kata suara itu yang sepertinya dokter Riza. “yaudah dok,
ayo kita lanjutin jalannya L” jawabku agak kecewa. Perjalanan menuju
ruang operasipun diteruskan.
“e..” “anya, kamu udah
bangun ya?” kata suara yang mirip dengan suara tante Naura. “eeh.. ini tante
ya?” tanyaku. “iya sayang, gimana, kamu udah siap buat melihat lagi?” Tanya
tante dengan nada yang sumringah. Aku terdiam sejenak. Aku teringat dengan
kata-kataku waktu itu, aku ingin orang pertama yang aku lihat saat aku sudah
bisa melihat lagi adalah dokter Arvin. “kamu kenapa sayang?” Tanya tante Naura.
“eh..” aku tersadar dari lamunanku “enggak papa tante. Yaudah, aku udah siap
tante”. Kemudian balutan perban yang melingkar di matakupun segera dibuka. “a..aaau”.
“pelan-pelan ya mbak, sedikit demi sedikit semuanya jelas kok”. Kata suster
yang membukakan perbanku. Benar saja, lama kelamaan semuanya jelas. Aku merasa
sangat bahagia. Tapi juga merasa sedikit kecewa lantaran aku tidak dapat
melihat keberadaan dokter Arvin yang sedang cuti saat pertama aku membuka
mataku.
Setelah kurasa sudah
baikan, aku segera berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit dan aku segera
berlari menuju taman tempat biasa aku dan dokter Arvin bercanda dan tertawa
bersama-sama. Dan benar, aku menemukan seorang yang mengenakan jas dokter yang
berdiri di depan bangku taman. “dokter Arvin?” kataku agak berhati-hati. Aku
takut aku salah orang. Karena aku belum pernah melihat wajah dokter Arvin. Lalu
laki-laki itu menoleh ke arahku. “Anya? Kamu? Kamu gimana bisa ngeliat aku?”
tanyanya skeptis. “ini beneran dokter Arvin?” tanyaku. “iya nya, ini saya Arvin.”
Jawabnya meyakinkanku. “ya ampun, ternyata dokterku ini ganteng banget J”
balasku. Mukanya sedikit berubah kemerahan dan dia langsung tersenyum. Aku
bercengkrama dengannya. Bisa dibilang sekarang aku sudah menemukan dia lagi.
Aku bisa menghabiskan waktuku dengannya lagi. Dia juga menyarankan untuk aku
agar segera melukis lagi. Katanya “kamu pernah bilang, melukis itu udah jadi
bagi dari hidup kamu. Jadi, mulai sekarang kamu harus mulai melukis lagi ya.
Jangan sampai sebagian dan hidup kamu hilang gitu aja” kata dokter Arvin. Dan
sejak saat itu, aku bertekad untuk aku melukis lagi. Menuangkan kreativitasku
diatas kanvas. Tapi, makin hari aku menemukan kejanggalan. Orang-orang yang
melihatku berbinjang dengan dokter Arvin seperti menatapku dengan tatapan heran.
Tapi aku tak terlalu mempermasalahkan itu. Mungkin karena mereka melihat
seorang dokter begitu akrab dengan mantan pasiennya.
Lama kelamaan aku makin
sering datang kerumah sakit untuk sekalian ‘cek up’. Selain itu, apa lagi kalau
bukan untuk bertemu dengan dokter Arvinku. Kurasa, aku mulai menyukainya. Aku
mulai jatuh cinta dengannya. Dokter tampan nan baik hati itu, oh dokter Arvin..
Tapi, semua hancur
seketika saat dokter Riza memanggilku. “anya? Ngapain kamu disitu?” panggilnya.
“hahaha dokter bisa aja..eh.. dokter Riza. Ada apa dok? Aku lagi ngobrol sama
dokter Arvin dok.” Jelasku. “anya, kayaknya saya harus ngomong sama kamu. Ayo
ikut keruangan saya.” Aku mengikuti dokter Riza dari belakang menuju
keruangannya. Setelah itu aku dan dokter Riza duduk di meja kerjanya. “anya,
saya harus ngomong sesuatu sama kamu”. Kata dokter Riza dengan nada agak berat
untuk mengatakan sesuatu. “emangnya ada apa sih dok? Kok dokter kayaknya berat
gitu sih buat ngomongnya?” tanyaku heran “ini masalah Arvin nya.”. “Arvin? Kenapa sama dokter Arvin? Bukannya
tadi dia gak kenapa-napa dok?” “hah? Apa maksud kamu?”Tanya nya heran.
“iya, bukannya tadi dia
masih di taman duduk-duduk dan ngobrol sama aku dok”. “hah? Gimana bisa Anya?
Sebenarnya, Arvin sudah meninggal karena tabrak lari saat mengantar kamu
menyebrang tempo hari” jelasnya agak hati-hati. “enggak, enggak mungkin dok,
enggak Arvin masih sama saya tadi”. Jawabku sambil berurai air mata, lalu
pingsan.
Setelah siuman aku
sudah berada dikamar rumah tanteku. “Anya, ada apa dengan kamu?” Tanya tante
Naura. Aku hanya diam lalu menangis dan menggeleng. Setelah kejadian itu aku
menjadi tak terkendali. Aku tidak mau makan dan yang lainnya. Aku hanya
menangis. Sampai saat itu…
“Anya, ayo makan.
Jangan sampe kamu sakit. Aku gak mau liat kamu sakit nya”. Kata dokter Arvin
yang tiba-tiba berada dikamarku. Seperti hantu yang bisa datang kapan pun. Ah
tidak, dia memang sudah menjadi hantu. “dokter? Kenapa? Kenapa aku masih bisa
liat dokter? begitu nyata masih bisa
menyentuh tangan aku. Kenapa dok?” jawabku dan tangisku kembali terpecah. Dia
merangkul ku. Aku merasa tenang saat dia merangkul dan menenangkanku.
Akhirnya aku dan dokter
Arvin berbincang sampai akhirnya kami menemukan solusi untuk ini. keesokannya
aku menyapa tanteku yang ada di meja makan untuk sarapan. “tante”. “A.. anya?
Kamu.. syukurlah”. “mau sarapan?” sambung tanteku sambil menawarkan roti yang
ada ditangannya. “ah engga tante. Anya mau kerumah sakit dulu ya tante”.
Pamitku dan langsung menuju kerumah sakit. Sesampainya aku dirumah sakit, aku
langsung menuju taman yang ada dirumah sakit itu. Seharian penuh waktu ku
kuhabiskan untuk mengobrol berdua dengan Arvin. Ya walau orang lain hanya
melihat aku saja yang berbicara. Aku tak perduli mereka mau menganggapku gila
atau apalah itu.
“Anya…”panggilnya
dengan senyuman yang paling manis yang pernah aku lihat. “iya vin? Kenapa? J”
jawabku dengan senyuman juga. “nya, aku sayang sama kamu. Tapi maaf karena aku
sekarang udah kayak gini.” Balasnya. “vin, kamu tau? Walau kamu sekarang udah
jadi hantu, eh maaf. Kamu tau? Sejak awal aku udah nyaman sama kamu. Aku juga
sayang sama kamu.” Balasku dengan mata berkaca-kaca. Mata kami saling beradu.
“jadi, apa kamu masih akan disini? Sampai kapan?” tanyaku membuka topik. “nggak
tau nya, tapi yang pasti udah gak lama lagi.” Jawabnya menatapku yang bersandar
di bahunya, dan kami kembali bertatapan. “Arvin…” kataku dengan suara gemetar.
“iya?” jawabnya. “kalau kamu udah mau pergi, kamu bilang ya sama aku. Jangan
tinggalin aku gitu aja. Jangan buat aku ngerasa aku udah kehilangan kamu untuk
selamanya ya :’’’’’’’(“ kataku dan tangiku terpecah. “anya, percaya ya sama
aku, walau sebentar lagi kita gak akan bertemu lagi, kamu harus jadi Anya yang
kuat. Anya yang ceria seperti anya yang aku kenal. Aku akan selalu menjaga kamu
diatas sana. Aku pasti selalu memantau apa aja yang kamu lakuin disini. Aku
sayang kamuJ”kata
dokter Arvin sambil memegang pundakku dan meyakinkanku. “vin, janji ya!! Aku
sayang, sayang, sayang, sayang, sayang banget sama kamu. Kamu yang buat aku
bangkin dari keterpurukan ini. andai aja ya semua orang masih bisa liat kamu
seperti aku ngeliat kamu. Aku mau kita bareng-bareng lagi kayak dulu. Aku juga
rela kok aku buta lagi asal aku bisa terus sama kamu:’’’’)” kataku. “anya,
engga nya. Kamu gak oleh ngomong kayak gitu. Kamu tau kenapa kamu masih bisa
ngeliat aku?” Tanya nya. “kenapa vin?” “karena, mata kamu sekarang, adalah mata
aku nya.” Jawabnya. Aku yang kaget langsung menangis dan langsung memeluk
Arvin. “jadi, walau nanti kita gak sama-sama lagi, masih ada kenangan yang buat
aku selalu ada disamping kamu”. Lanjut Arvin. “A…rvin……” tangisku semakin
menjadi.
Keesokan harinya, sama
seperti biasanya, aku kembali menemui dokter Arvin di taman biasa. Waktuku
kuhabiskan hingga malam. Aku bermanja-manja dan tertawa seakan hilang semua
beban. Aku bahagia. Sangat, sangat,sangat bahagia. Tapi…
“anya..” suaranya
memecahkan keheningan malam itu. “iya?” aku langsung bangun dan menoleh
kearahnya. Saat itu aku sedang bersandar di pundaknya. “malam ini adalah malam
terakhir aku disini. Ini malam terakhir buat kita bertemu kayak gini sebelum
semuanya hilang. Sebelum aku pergi buat selamanya nya.” Jelasnya yang membuat
aku kembali menangis. “Arvin, makasih, makasih banget buat semuanya. Buat waktu
kamu untuk ngejagain aku sampe sekarang. Buat mata kamu. Buat semua petuah dan
nasihat kamu yang ngebuat aku bisa bangkit lagi. Dan makasih buat kenangan
kita. Makasih udah sayang sama. Aku. Dan makasih udah buat aku cinta sama kamu.
Dan aku juga punya hadiah special buat kamu. Yang gak tau kenapa Tuhan menyuruh
aku untuk datang dan ngasih ini buat kamu. Ini hadiah buat kamu yang aku sayang
vin. Aku sayang sama kamu vin.” Aku menangis. Aku memperlihatkan lukisan
special dan objek terindah yang pernah aku buat selama ini. bisa dibilang ini
adalah lukisan ter-indah sepanjang karier ku. Kami berpelukan erat. “anya, dan
ada yang harus aku bilang sama kamu sebelum aku pergi sekarang. Kata-kata yang
aku bilang tadi itu bohong. Aku bukan hanya sayang sama kamu. Tapi aku juga
Cinta sama kamu nyaJ”. “arviiinnnnn:’’)”. Aku langsung
memeluknya. Tapi tak lama. Dia harus segera pergi. Pergi untuk selamanya. Dan
selama-lamanya. “selamat tinggal anya. Aku akan selalu menjaga kamu dari atas
sanaJ”
katanya, lalu dia menghilang dan pergi.
*2 tahun kemudian
“Aku sudah menjadi
pelukis hebat sekarang vin. Dan karya terbaikku adalah, lukisanmu vinJ.
Aku tau kamu bisa mendengar kata-kataku disana vin. Aku selalu menganggapmu
selalu ada disampingku. Selalu berdiri disini dan tersenyum mengamatiku:’’)”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar