Cinta
di segulung gulali
(Ardi Alfaris –
Alizz)
Udara tanjung lesung yang memang sedikit lebih panas
hari ini, di temani batu karang dasar pantai yang masih rela diterjang ombak
besar. Semilir angin selat sunda terasa sangat menyejukkan wajah.
Ini hari terakhir . digtara dan kawan-kawan dari
pasukan Pramuka Tangerang menginjak Bumi Pandeglang. Setelah seminggu penuh
mereka membangun sebuah daerah baru hasil babat lahan untuk di jadikan
perluasan wilayah pemukiman.
Setelah perempuan yang ia sukai tidak berkenan memberikan nomer handphone yang dia punya, mungkin
hati Digtara sedikit berkata, ‘ah sudah lah.’
“gak dapet kenalan baru Lis?” Tanya Iwan. Maklum
Digtara biasa di panggil ‘Alis’ oleh yang lain, yah kalian tau kenapa. “si neng
nya kagak mau ngasih nomer dia Wan” jawab Digtara. “lah emang kenapa Lis?” Iwan
bingung. “perasaan waktu kita ajak kenalan di gunung abis kita penghijauan, dia
mau lu ajak kenalan?” sambung Iwan. “iya
sih wan, tapi yaa sama aja” jawab digtara seadanya. “lu juga sempet salaman
lagi, pipmpinan kontingen kita aja ga sempet, sama kaya yang lain, Cuma lu doang
Lis yang bisa salaman” Iwan makin bingung dengan semuanya
“Wan, dia minta gua seriusin...” belum selesai Digtara
bicara tiba-tiba “mantep tuh cewe, muka nya putih, oval, kerudungan, bibir
tipis, santri...” sekarang gentian digtara yang memotong. “nah itu dia
perkaranya, santri nya it…” perkataan Digtara kembali terpotong. “mantep kali
yak, pacaran tangerang pandeglang pasti...” Ucapan Iwan di potong kembali oleh
Digtara “pasti dua-dua nya selingkuh boy, secara …” perkataan Digtara kembali
terpotong. “tapi gua yakin dia setia bro, soalnya..” kali ini perkataan Iwan yang
terpotong kembali. “setiap tikungan ada maksud lo? Anak pramuka mah lebih dari
1 kilo jadi...” dan kali ini ucapan Digtara yang terpotong. “tetep aja manis
kan? Digtara prakasa?” ucapa iwan barusan membuat digtara berhenti bicara. “iya
sih Wan” Digtara menjawab seadanya.
“yaudah kalo lu emang masih mau bergalau ria disini
ngga ngapa-ngapa. tapi, gua mau nikmatin dulu indah nya tanjung lesung, kapan
lagi kita masuk sini, gratis lagi, iya ga? Ya kan? Iya ajaa dehh.” iwan
nyerocos seperti monorel di Jepang, “he’eh” jawab Digtara singkat.
Digtara kembali melamun di temani pasir pantai putih
lembut, melihat ke arah laut luas sejauh mata memandang, di pikiran nya masih
terbesit untuk menemui neng, dan bicara kalau dirinya memang serius. Apalah
daya pasir sudah terbawa ombak, tak akan bisa kembali ke pantai.
“siswa…” “saatnya baris siswa.” suara Kak Ikhsan
dengan gaya khas angkatan lautnya memanggil kami seperti itu, mereka sudah
tidak aneh dengan panggilah khusus marinir baru masuk pelatihan itu, dengan
sigap mereka berkumpul, membentuk barisan sesuai sangga masing-masing.
Entah peraturan dari mana, tapi wakil ketua harus
ada di barisan paling belakang, seperti Digtara saat ini. memang sedikit aneh,
baru kali ini mereka mengalaminya.
Setelah mereka duduk dan membahas banyak hal, Digtara
hanya terdiam, seperti masih melamun, melihat sekeliling dan mata nya tertuju
pada pasukan serang yang masih asik bermain. “siswa.” ucap ka ikhsan “siap kak!”
semua serentak menjawab, kata -kata itu sukses membuat Digtara bangun dari
lamunan galau nya. “kalian liat kontingen serang, mereka susah-susah teriak
buat ngumpulin anggotanya yang lagi pada main, kalo saya tinggal bilang ‘siswa’
kalian semua langusng kumpul, ini baru jiwa angkatan laut!” kata Kak Ikhsan
membanggakan mereka.
“apa sih Ikhsaann, mereka mah Pramuka bukan angkatan
laut.” Kak Shodiq meledek. Mereka kemudian tertawa. Digtara tidak terlalu
memperhatikan obrolan yang lainnya, dia melihat ke arah kontingen serang yang
sedang mengumpulkan anggota yang lainnya.
Ada satu yang menarik perhatian Digtara, gadis manis
sedang duduk di bawah pohon rindang. Paras dan perawakan yang mirip dengan perempuan asal
pandeglang, pujaan hati semua orang, “bidadari dari pantai selatan..” Digtara
ngelantur. “woi.! Lu kenapa Lis? Bidadari pantai selatan? Nyi roro kidul maksud
lo?” Adel bingung , melihat sikap Digtara yang melamun lalu ngelantur, “ayoo
kita pulang yang lain udah pada jauh tuh” sambung Adel sambil menarik tangan Digtara.
Tanpa sadar yang lain sudah pergi menuju bis, dalam hati Digtara, gadis itu benar-benar
membuat lamunan yang hebat.
***
Bahkan jika itu
cinta yang sebatas patok tenda
Mereka pasti akan
kembali bersatu
Andai jarak
tangerang-pandeglang pemisahnya
Takdir yang akan
membawa mereka bertemu
***
perjalanan
ini bakal jadi perjalanan paling galau se -umur hidup Digtara, sementara seluruh
temannya mendapat kenalan dari sana -sini, sedangkan digtara jangankan kenalan,
deketin aja ga sempet. Apalagi sampe ngobrol terus minta nomernya, galau tujuh
keliling perairan nusantara.
Digtara
masih terjaga sementara yang lain tertidur lelap. Sesuatu yang tak lain adalah
2 cinta pandangan pertama lewat bagai angin lalu begitu saja, berlian hanyut di
sungai deras dangkal, tak akan pernah bisa kembali bukan? Hujan daerah
pangelang membuat kedaaan semakin mendukung untuk bergalau ria meratapi nasib.
“jangan
nangis Lis, ya elah cewe masih banyak kali,” tiba-tiba Adel dari kursi depan
bicara pada digtara dengan kepala muncul dari balik kursi. Digtara yang melihat
Adel hanya bisa menundukkan kepala, “udah Lis, kita masih selalu ada disini ko,
kita bakal lebih ada, lebih setia dari kontingen lain” Adel tersenyum sambil
mengacungkan jari kelingking pada Digtara.
Digtara
menengok ke atas menatap mata Adel, ada senyum dan pancaran ketulusan dari
matanya, kalau dibandingkan Adel memang tak kalah cantik dengan mereka, tapi
membanding-bandingkan perempuan itu tidak baik. Digtara kembali merunduk sambil
menarik nafas panjang. “yah dia sedih lagi” ucap Adel. “ayo, Adel janji deh “
sambungnya. Digtara kembali melihat ke wajah Adel, sekali lagi dia dapatkan
senyuman ketulusan yang entah berasal dari mana.
“okee,
tapi janji ya?” Tanya Digtara sedikit ragu. “janji.” jawab adel dengan yakin.
Digtara menyambungkan kelingkingnya dan tersenyum simpul. Ada sedikit kelegaan di balik
senyuman tipisnya. “nah gitu dong, kan
enak diliat nya kalo senyum, hahahahh” kata Adel sambil tertawa singkat yang
kemudian kembali berbalik dan duduk di kursinya kembali. Adel memang teman yang
sejak dulu menjadi sosok pemerhati Digtara, mereka sudah lama berjuang bersama,
maju dan jatuh bersama, mereka saling mengerti perasaan yang lainnya, mungkin
Adel lah orang yang paling mengerti Digtara. Kali ini Digtara bisa tertidur.
Walau tak senenyak yang lain, setidaknya Ia bisa mengistirahatkan dirinya.
***
Keitka sinar cinta nan tulus muncul
ia lah yang kan membawa kita
terbang tinggi entah kemana
Ke alam yan penuh dengan mimpi
indah
Mimpi bersama dia, yang mencoba
selalu hadir disisimu
Yang akan menyentuh lembut dengan
kasihnya
***
Ketika
Digtara terbangun, hari nampaknya sudah mulai gelap, perkiraannya menunjukkan,
ini pukul 5 sore waktu pandeglang, Ia berfikir seperti itu karena di sebelah
kiri masih ada suguhan pemandangan berupa pantai. “hey ganteng udah bangun?”
Tanya Adam. “berapa lama gua tidur?” Digtara bertanya balik. “ya, kurang lebih
15 menit,” Adam menjawab santai. ‘15 menit? Sesebentar itu kah aku tidur?’
Pikir digtara. Sepertinya riset tentang orang yang kesulitan tidur karena jatuh
cinta dan patah hati memang benar. Kali ini Digtara mengalami sendiri. “ini
udah kawasan mana Dam?” Tanya Digtara. “masih pandeglang, tapi bentar lagi kita
mau masuk bagian perkotaan nya” jawab Adam. “lagian wilayah pandeglang luas
banget, ada kali ya 3 sampai 4 kali lipatnya Tangerang?” Adam meneruskan ucapan nya. “iyaa, tapi rata-rata
kagak ada orangnya, masih tanah kosong” Digtara menjelaskan sidikit panjang.
Digtara
yang malas untuk terjaga samapai Tangerang lebih memilih tidur lagi, siapa tau
dalam mimpinya dia bisa bertemu dengan neng, atau gadis yang belum dia ketahui
namanya itu. Dengan memeluk mini bag milik
nya, ia kembali tertidur pulas.
***
Digtara
kembali terbangun saat mereka sudah berada di jalan tol. Suasana jalan yang
masih gerimis membuat Digtara enggan untuk kembali tidur. Ia menatap jauh
keluar jendela. Ke arah lahan kosong yang masih terlihat hijau. Pikirannya
masih melayang entah kemana, seperti masih mencoba mengingat wajah gadis yang
tersandar di pohon rindang. Atau kembang desa asal pandeglang. Kalau memang
jodoh tidak pergi kemana. Mengapa harus terlalu dipikirkan.
Waktu
terus berlanjut, hingga mengantarkan mereka ke markas pramuka Kota Tangerang.
Setelah berbenah barang, dan keperluan, juga briefing masalah kelanjutan kedepannya. Semua nya bersiap untuk
pulang. Beberapa sudah ada yang di jemput oleh orang tua mereka, ada juga yang
membawa motor dan naik angkutan umum, karena malas membawa kendaraan. Digtara
sendiri membawa sepeda motor dari orang tuanya karena ayahnya lebih memilih
menaiki motor tua yang sudah jarang di jumpai, katanya sih biar keliatan “antik’’
gitu.
Digtara
mengendarai seperti dengan pikiran masih melayang, alasannya adalah karena
polisi di Tangerang itu galak-galak, jadi pikiran nya bukan masalah cewe lagi, tapi
karena takut di tilang. Di tambah lagi ini malem minggu, jadi galaknya semacam
double gitu. Plus Digtara duitnya habis di pandeglang buat segala macem
keperluan, yang ga perlu di jelasin kan?
Sesampainya
di rumah Digtara di sambut dengan guyonan khas keluarganya. “jee, udah pulang
tong? Kirain 2 minggu lagi di sono” ibu Digtara langsung saja bicara setelah
anak nya mengucapkan salam. “kirain bapak, kamu gak pulang sampe pandeglang rame
jadi kaya Tangerang?” ayahnya menimpali. “niatnya sih gitu.” jawab Digtara
enteng. “Ari mana?” Digtara menanyakan adik nya. Karena kebetulan Digtara
meniggalkan keluarganya ke pandeglang
tepat sehari setelah adiknya khitanan(sunatan).
“Ari
lagi main keliling komplek sama yang lain” jawab Ayah. “seminggu engga berantem
kita, panggil aja anaknya.” Digtara bicara sambil tersenyum ringan. “gini nih,
jauh bau melati, deket bau busuk, emang sama dimana -mana” ibu digtara menyaut.
Digtara tertawa, setelah itu masuk kamar untuk istirahat sepenuh nya hari ini.
Bukan
tidur, namun kembali dalam lamunan seluas laut pandeglang, terbayang kembali 2
orang gadis manis yang mingisi hati Digtara saat liburan kali ini. Dia baru
ingat dia baru saja mendownload lagu baru oleh-oleh dari perkemahan kemarin. Ia
menyetel 2 lagu tersebut. “cinta sebatas patok tenda” dan “cinta simpul mati”.
Lagu galau khas anak pramuka. Hingga akhir nya kedua lagu tersebut sukses membawa
digtara ke alam mimpi.
Digtara
bangun dengan ke adaan di tendangi oleh adik nya yang masih berumur 5 tahun,
sepertinya bukan hanya sang kakak saja yang kangen bertengkar dengan adik nya.
“woi, bangun! kalo ngga nanti rejeki lo di patok sama ayam..” teriak adiknya.
“sialan lu, kita kagak punya ayam, udah sono sono.” Digtara mengusir adik nya
dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh nya. “lu malah jadi kaya
orang mati kalo di tutupin semua kaya gitu, bangun woi.” sepertinya Ari belum
mau pergi dari hadapan kakaknya yang lama menghilang. Digtara langsung
menyibakkan selimut, dengan cepat memegang lalu meremas kepala adik nya. Ari
yang sadar, tidak sempat mengelak, dibandingkan kecepatan kakaknya dia kalah
saing begitu jauh.
“nah
sekarang lu pergi main game duluan oke, nanti gua nyusul waktu jam dungeon
khusus udah kebuka.” kata Digtara pelan sambil melepaskan tangannya. “tapi ini
udah jam setengah 12, dungeon khusus udah lewat 2 kali, sebentar lagi yang ke
3?” jawab adik nya polos.
Digtara
melirik jam dinding kamar nya, benar jam setengah 12. lima detik kemudian dia
baru sadar bahwa event game sedang berlangsung, secepat kilat dia lari ke depan
komputer di ruang tengah, “woii gua duluan yang main..” teriak adik nya sambil
mengejar digtara yang sudah menghilang.
“awas,
gua duluan yang main, yang bangun gua duluan” teriak Ari sambil menarik -narik
baju kakaknya agar minggir dari kursi, tapi hanya badan Digtara saja yang
bergoyang, sementara Ia tetap duduk dan log on ke dalam game. “apaan sih gua
duduk duluan, berarti gua main duluan” kata Digtara tak acuh. “apa lu, kalo
ngga gua bangunin lu kagak bakal bangun Alis” kata adik nya tak mau kalah.
“udah sono lu main gambaran dulu sama temen-temen lu, ahh” Digtara juga tak mau
kalah.
“Ari,
kasih kakaknya dulu, kangen dia sama komputer udah seminggu engga megang”
tiba-tiba ibu sudah ada di belakang mereka berdua. Digtara tersenyum simpul
“dah sono main jauh -jauh,” usir Digtara. “dish, males dish lahh..” ari
ngedumel lalu keluar rumah.
Sementara
loading ia cheking e-mail dan menemukan beberapa e-mail yang seperti undangan.
“dari Gilang, bakar-bakar, bosen” gumam Digtara. “dari Asya, suruh dateng ke
rumahnya nasi tumpeng, males” ucap Digtara “dari Anggit makan-makan tanggal 1,
pengen tidur aja” ucap Digtara lagi, hingga ada satu pesan yang membuat mata
nya terbelalak, dari Adel, e-mail itu berisi “Alis, kita malem tahun baru di
undang ke markas pramuka Kota Tangerang, bakar-bakar ayam, sama manggang
danging, dateng ya, oh iya, tolong sebarin juga ke semua nya. Makasih”
Kembali
bertemu dengan sekumpulan orang gila dari Pramuka Tangerang, ini jarang
terjadi, apalagi dalam waktu sesingkat ini. Digtara tak sabar menunggu datangnya
esok malam. Pesta sederhana semalam suntuk. Hati Digtara dag dig dug der dor
duar. Akan ada apa kejutan esok malam. Ia berharap ada sesuatu yang istimewa,
walau memang tidak bisa bertemu gadis dari serang atau pandeglang, tak mengapa
menurutnya.
***
Siang
ini Digtara salah tingkah, menunggu memang membuat efek emosinal yang berbeda
pada setiap orang yang merasakan, jika Digtara akan mengalami sakit perut abnormal
ketika gugup, mungkin akan lain dengan apa yang anda rasakan. Jam masih menunjukkan
pukul 3 sore, namun Digtara sudah mandi dan bersiap, ibu nya yang kebingungan
bertanya maksud perbuatan nya. “kan jarak dari sini ke Tangerang jauh mah kalo
naik sepeda” jawab Digtara, “tapi engga harus jam 3 seperapat kaya gini udah
mandi juga kali, lebayy maksimal banget” ibu Digtara kembali ke belakang
setelah berkata demikian. Digtara sedikit berpikir, apa iya ini berlebihan? Ahh
sudahlah, dia mulai berpikir untuk mengunjungi Cisadane sebelum dia ke markas Pramuka.
Setelah
berpamitan dia segera tancap pedal sepeda nya dan melaju dengan santai, tepian
jalanan sudah mulai ramai, bukan karena untuk menyambut tahun baru, tapi karena
ini jam pulang kerja.
Spanduk-spanduk
dari partai politik ikut meramaikan peringatan tahun baru ini, dengan tulisan
sebesar mungkin, yang bertuliskan, “KAMI YANG PALING MENGERTI RAKYAT” dan
lain-lain. Gantungan-gantungan yang mulai menghiasi pinggiran jalanan yang mungkin sudah terpasang sejak Digtara kembali
dari pandeglang. Pedagang petasan hampir merata di setiap sudut jalan, penjual
terompet dadakan dimana-mana untuk beberapa hari terakhir ini.
Cisadane,
sungai yang membelah daerah Tangerang Raya menjadi 2 bagian, antara timur,
sebagian dari Kota Tangerang, sedangkan bagian barat, ada sebagian dari Kota Tangerang
dan Kabupaten Tangerang.
Digtara
berdiri di belakang pagar besi yang membatasi tepian jalan setapak yang sengaja
di buat di pinggir sungai. Sambil menyedot minuman kesukaan nya di tempat ini,
es liang teh. Sambil mengamati arus sungai yang akan mengalir menuju pintu air
10. Digtara membayangkan momen-momen beberapa tahun silam bersama seluruh
kawannya ketika mereka masih SMP.
Mereka
duduk dan berfoto ria diatas pagar yang sekarang sedang ia sandari. Perlahan
bayangan halus muncul dimata Digtara, berjalan perlahan dari ujung ke ujung
jalan setapak ini. Bercengkrama ria, tertawa renyah, gurih ,sampai garing dan melempem
juga mereka rasakan. Momen yang kini mungkin tidak bisa terulang setelah mereka
terpencar masuk dalam sekolah favorit di kota ini.
Dan
jam baru menunjukkan pukul 5 sore, masih banyak waktu sampai waktunya berkumpul
nanti, tapi tidak banyak waktu untuk Digtara sholat ashar, kemudian ia menuju
masjid dekat tempat ia bersantai, tak lama dan tak sulit, karena ia sudah hafal
denah lokasi di daerah sini.
***
Setelah
ashar Ia kembali melanjutkan perjalanan, Ia melirik jam yang ada di tangannya,
setengah 6 sore, waktunya cukup, Ia berpikir untuk sholat maghrib di alun-alun
kota. “pasti volume kendaraan akan tinggi” gumamnya dalam hati. Ketika di jalan
protokol apa yang jadi pikirannya memang benar, banyak orang sudah berpakaian
rapih untuk menghadiri pesta, atau untuk sekedar jalan-jalan sore. Ia tak
peduli ia tetap mengayuh sepedanya sampai ke alun-alun. Dan sholat maghrib di
sana.
Setengah
7 malam ia sudah ada di markas cabang. Sepi tak ada orang, penjagapun
sepertinya sedang berlibur bersama keluarga, “Digtara!” seseorang memanggil
dari lantai 5 gedung Windu Karya, Digtara cepat memarkir dan naik ke lantai 5
lewat tangga samping.
Dengan
nafas masih senin-kamis “Cuma lu doang Del?” tanya Digtara. “yang lain masih
pada di jalan katanya” jawab Adel singkat “sini istirahat dulu aja.” sambung
nya. Digtara duduk di sebelah kiri Adel, bersandar ketembok dan menghembuskan
nafas lega. Mereka berdua bicara dan bercanda hingga yang lain tiba dengan
sendirinya.
Ada
perasaan berbeda jika Digtara dekat dengan adel, sejak dulu, aneh memang, ada
rasa tidak suka jika adel bicara dengan teman laki-laki yang lain. Sementara
dia bukan siapa-siapa. ‘Ahh, mungkin hanya perasaan yang kebetulan lewat saja.’
Hanya kalmiat itu yang bisa menepis perasaan anehnya pada Adel.
“hey
ke alun-alun yuk, rame tau disana” ajak Adel sembari berdiri. “iya tadi gua
udah liat” jawab Digtara singkat sambil berdiri juga. “lagian yang lain
datengnya lama semua” lanjut Digtara. “katanya kalo dateng jam 7 kecepetan Lis,
jadi mereka ada yang agak malem datengnya” jelas Adel.
Sesampainya
mereka di alun-alun mereka di kagetkan dengan suasana yang sangat jarang
terjadi “ini kaya hari minggu pagi ya Del” kata Digtara dengan mulut terbuka.
“iya rame banget ga kaya biasanya” Adel juga ikut melongo. Sekejap kemudian
mereka bertatapan, dan kemudian saling kejar mengejar di alun-alun kota, mereka
tertawa lepas, seperti tak ada beban dalam pikiran.
“mau
gulali ngga?” Tanya Digtara, “beliin tapi ya?” Adel balik bertanya, “berapaa
sihh sini gua beliin.” kata Digtara sambil memegang lalu menarik tangan Adel
tanpa sadar. Setelah membeli satu gulungan gulali mereka duduk di pinggiran
lapangan yang sedikit bertingkat itu.
“nihh
lu makan duluan.” kata Digtara. “elu yang beli, lu duluuan atuh” Adel menolak
makan duluan. “gua pengen liat cara makan lu” jelas Digtara. “yaudah sini.” Adel
akhirnya mengalah, gulungan gulali besar itu ia makan seperti makan daging dari
paha ayam, Digtara tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Adel yang jadi berantakan
karena gulali yang membuatnya semakin lucu.
“cara
makannya engga gitu, jelek. kaya gini nih.” lalu digtara mengambil secuil dari
gulali dan menyuapi Adel, kemudian membersihkan bekas -bekas gulali yang masih
terisisa di pipi Adel. Sejenak mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berbeda di
tatapan keduanya. Kemudian keduanya saling tertawa sebentar, lalu kemudian
terdiam, dan hening diantara mereka berdua.
Sementara
itu Adel ingat kalau Digtara belum mencicipi manisnya gulali yang ia beli,
“sini -sini lu belum makan, gantian dongg.” kata Adel memecahkan keheningan.
Lalu ia mengambil secuil dan menyuapi Digtara. Sesaat mata mereka bertemu
kembali tapi kali ini tidak di warnai keheningan, tangan Digtara yang tadi nya
memegang batang kayu gulali, sekarang memegang tangan adel, “adel gua mau bilang
sesuatu. tapi lu jangan marah yaa?” kata Digtara lirih.
“ihh
apaan sih, serius banget, mau bilang apa emangnya?” Adel menarik tangannya. “Del,
kalo gua suka sama lu gimana del?” kata
Digtara. “lu ? suka sama gua? Ya ngga kenapa-kenapa.” jawab Adel enteng. “emang
lu beneran suka sama gua?” Adel meneruskan dengan nada sedikit berbeda. “kalo
iya apa buktinya?” Adel meneruskan
“bukti
ya? Mm… gua ga punya tapi...” Digtara menjawab dengan terbata-bata, “tapi apa?
Kalo ga punya bukti gausah bilang harus nya.” Adel nyerocos. “lu mau ngga jadi
pacar gua Del?” kata-kata itu dengan sendirinya keluar dari mulu Digtara. “maaf
ya Digtara, gua engga mau.” nada ucapan Adel barusan sepeti hujan pedang, linggis,
sampai golok menghujam hati Digtara “mm.. yaudah gapapa ko kalo gitu.” jawab Digtara
sedikit kecewa. “heh sialan lo ya.. gua
belom kelar!” Adel membentak digtara sambil berdiri. “terus apa lagi del. hah?
Kurang apa? Kalo ngga mau yaudah jangan bikin orang jadi tambah sakit hati” Digtara
juga ikut berdiri.
Beberapa
mata menuju kearah mereka, walaupun tidak lama, “maksud gua itu gua ngga mau kalo
kita Cuma jadi temen doang..” nadanya memelan, menjadi lembut dan manja seperti
ada angin sejuk menghembus alun-alun.
Tanpa
sadar Digtara sudah memeluk adel yang belum selesai bicara. Semakin banyak mata
tertuju pada mereka, tapi Digtara seolah tak peduli, ia ingin memeluk adel dan
serasa tak ingin melepaskannya. Seseorang yang benar -benar bisa paham apa yang
dirasakannya. “makasih adel, makasih banyak” ucap Digtara. “gua sayang sama lu
del, gua baru sadar kalo sayang gua berujung ke elu” sambung Digtara, Digtara
mengucapkan kata-kata tersebut dengan sedikit titikan air mata. Adel yang
menyadari hal tersebut karena pundaknya basah, melepaskan pelukannya. “udah
jangan nangis lagi, aku bakal ada di sini buat kamu, selalu disini” Adel
tersenyum sambil mengusap air mata Digtara.
“heyy,
kalian disini?? Kita cariin dari tadi tau, di windu karya, gua kira kalian ngga
dateng” Syahid tiba-tiba ada di samping mereka berdua, di ikuti yang lainnya,
“ehem cie berduaan aja” Kak Sodiq meledek Digtara dan Adel.
“kata
Kak Sodiq, kita bisa main-main dulu disini sampe nanti jam setengah satuan,
sekarang masih jam 10 kok tenang aja masih lama, kita juga belum mulai bakar -bakarnya”
ujar Syahid menjelaskan. Mereka berdua tersenyum, “ayo, jangan diem aja” ajak
syahid “yang lain udah pada ke sana tuh” lanjutnya.
Digtara
dan Adel mengikuti yang lainnya, berjalan perlahan dan bergandengan tangan
sambil tersenyum bahagia. Kemudian berlari mengejar yang lainnya di iringi tawa
ringan mereka berdua. Kembang api mekar di langit alun-alun Kota Tangerang
membuat suasana menjadi seperti surga untuk mereka berdua.
***
Biarkan cinta kita erat bagai
simpul mati
Misteri bagai sandi rumput dan
kokoh bagai pionering
Kuingin engkau tau besarnya rasa
cintaku
Menyala bagai api unggun, abadi
seperti tunas di dadaku
*****
knp ga cinta disegulung cilung bang??
BalasHapus