Senin, 30 Desember 2013

cinta di segulung gulali


Cinta di segulung gulali

(Ardi Alfaris – Alizz)
Udara tanjung lesung yang memang sedikit lebih panas hari ini, di temani batu karang dasar pantai yang masih rela diterjang ombak besar. Semilir angin selat sunda terasa sangat menyejukkan wajah.
Ini hari terakhir . digtara dan kawan-kawan dari pasukan Pramuka Tangerang menginjak Bumi Pandeglang. Setelah seminggu penuh mereka membangun sebuah daerah baru hasil babat lahan untuk di jadikan perluasan wilayah pemukiman.
Setelah perempuan yang ia sukai tidak berkenan  memberikan nomer handphone yang dia punya, mungkin hati Digtara sedikit berkata, ‘ah sudah lah.’
“gak dapet kenalan baru Lis?” Tanya Iwan. Maklum Digtara biasa di panggil ‘Alis’ oleh yang lain, yah kalian tau kenapa. “si neng nya kagak mau ngasih nomer dia Wan” jawab Digtara. “lah emang kenapa Lis?” Iwan bingung. “perasaan waktu kita ajak kenalan di gunung abis kita penghijauan, dia mau  lu ajak kenalan?” sambung Iwan. “iya sih wan, tapi yaa sama aja” jawab digtara seadanya. “lu juga sempet salaman lagi, pipmpinan kontingen kita aja ga sempet, sama kaya yang lain, Cuma lu doang Lis yang bisa salaman” Iwan makin bingung dengan semuanya
“Wan, dia minta gua seriusin...” belum selesai Digtara bicara tiba-tiba “mantep tuh cewe, muka nya putih, oval, kerudungan, bibir tipis, santri...” sekarang gentian digtara yang memotong. “nah itu dia perkaranya, santri nya it…” perkataan Digtara kembali terpotong. “mantep kali yak, pacaran tangerang pandeglang pasti...” Ucapan Iwan di potong kembali oleh Digtara “pasti dua-dua nya selingkuh boy, secara …” perkataan Digtara kembali terpotong. “tapi gua yakin dia setia bro, soalnya..” kali ini perkataan Iwan yang terpotong kembali. “setiap tikungan ada maksud lo? Anak pramuka mah lebih dari 1 kilo jadi...” dan kali ini ucapan Digtara yang terpotong. “tetep aja manis kan? Digtara prakasa?” ucapa iwan barusan membuat digtara berhenti bicara. “iya sih Wan” Digtara menjawab seadanya.
“yaudah kalo lu emang masih mau bergalau ria disini ngga ngapa-ngapa. tapi, gua mau nikmatin dulu indah nya tanjung lesung, kapan lagi kita masuk sini, gratis lagi, iya ga? Ya kan? Iya ajaa dehh.” iwan nyerocos seperti monorel di Jepang, “he’eh” jawab Digtara singkat.
Digtara kembali melamun di temani pasir pantai putih lembut, melihat ke arah laut luas sejauh mata memandang, di pikiran nya masih terbesit untuk menemui neng, dan bicara kalau dirinya memang serius. Apalah daya pasir sudah terbawa ombak, tak akan bisa kembali ke pantai.
“siswa…” “saatnya baris siswa.” suara Kak Ikhsan dengan gaya khas angkatan lautnya memanggil kami seperti itu, mereka sudah tidak aneh dengan panggilah khusus marinir baru masuk pelatihan itu, dengan sigap mereka berkumpul, membentuk barisan sesuai sangga masing-masing.
Entah peraturan dari mana, tapi wakil ketua harus ada di barisan paling belakang, seperti Digtara saat ini. memang sedikit aneh, baru kali ini mereka mengalaminya.
Setelah mereka duduk dan membahas banyak hal, Digtara hanya terdiam, seperti masih melamun, melihat sekeliling dan mata nya tertuju pada pasukan serang yang masih asik bermain. “siswa.” ucap ka ikhsan “siap kak!” semua serentak menjawab, kata -kata itu sukses membuat Digtara bangun dari lamunan galau nya. “kalian liat kontingen serang, mereka susah-susah teriak buat ngumpulin anggotanya yang lagi pada main, kalo saya tinggal bilang ‘siswa’ kalian semua langusng kumpul, ini baru jiwa angkatan laut!” kata Kak Ikhsan membanggakan mereka.
“apa sih Ikhsaann, mereka mah Pramuka bukan angkatan laut.” Kak Shodiq meledek. Mereka kemudian tertawa. Digtara tidak terlalu memperhatikan obrolan yang lainnya, dia melihat ke arah kontingen serang yang sedang mengumpulkan anggota yang lainnya.
Ada satu yang menarik perhatian Digtara, gadis manis sedang duduk di bawah pohon rindang. Paras dan  perawakan yang mirip dengan perempuan asal pandeglang, pujaan hati semua orang, “bidadari dari pantai selatan..” Digtara ngelantur. “woi.! Lu kenapa Lis? Bidadari pantai selatan? Nyi roro kidul maksud lo?” Adel bingung , melihat sikap Digtara yang melamun lalu ngelantur, “ayoo kita pulang yang lain udah pada jauh tuh” sambung Adel sambil menarik tangan Digtara. Tanpa sadar yang lain sudah pergi menuju  bis, dalam hati Digtara, gadis itu benar-benar membuat lamunan yang hebat.

***

Bahkan jika itu cinta yang sebatas patok tenda
Mereka pasti akan kembali bersatu
Andai jarak tangerang-pandeglang pemisahnya
Takdir yang akan membawa mereka bertemu

***

perjalanan ini bakal jadi perjalanan paling galau se -umur hidup Digtara, sementara seluruh temannya mendapat kenalan dari sana -sini, sedangkan digtara jangankan kenalan, deketin aja ga sempet. Apalagi sampe ngobrol terus minta nomernya, galau tujuh keliling perairan nusantara.
Digtara masih terjaga sementara yang lain tertidur lelap. Sesuatu yang tak lain adalah 2 cinta pandangan pertama lewat bagai angin lalu begitu saja, berlian hanyut di sungai deras dangkal, tak akan pernah bisa kembali bukan? Hujan daerah pangelang membuat kedaaan semakin mendukung untuk bergalau ria meratapi nasib.
“jangan nangis Lis, ya elah cewe masih banyak kali,” tiba-tiba Adel dari kursi depan bicara pada digtara dengan kepala muncul dari balik kursi. Digtara yang melihat Adel hanya bisa menundukkan kepala, “udah Lis, kita masih selalu ada disini ko, kita bakal lebih ada, lebih setia dari kontingen lain” Adel tersenyum sambil mengacungkan jari kelingking pada Digtara.
Digtara menengok ke atas menatap mata Adel, ada senyum dan pancaran ketulusan dari matanya, kalau dibandingkan Adel memang tak kalah cantik dengan mereka, tapi membanding-bandingkan perempuan itu tidak baik. Digtara kembali merunduk sambil menarik nafas panjang. “yah dia sedih lagi” ucap Adel. “ayo, Adel janji deh “ sambungnya. Digtara kembali melihat ke wajah Adel, sekali lagi dia dapatkan senyuman ketulusan yang entah berasal dari mana.
“okee, tapi janji ya?” Tanya Digtara sedikit ragu. “janji.” jawab adel dengan yakin. Digtara menyambungkan kelingkingnya dan tersenyum  simpul. Ada sedikit kelegaan di balik senyuman tipisnya. “nah gitu dong,  kan enak diliat nya kalo senyum, hahahahh” kata Adel sambil tertawa singkat yang kemudian kembali berbalik dan duduk di kursinya kembali. Adel memang teman yang sejak dulu menjadi sosok pemerhati Digtara, mereka sudah lama berjuang bersama, maju dan jatuh bersama, mereka saling mengerti perasaan yang lainnya, mungkin Adel lah orang yang paling mengerti Digtara. Kali ini Digtara bisa tertidur. Walau tak senenyak yang lain, setidaknya Ia bisa mengistirahatkan dirinya.

***
Keitka sinar cinta nan tulus muncul
ia lah yang kan membawa kita terbang tinggi entah kemana
Ke alam yan penuh dengan mimpi indah
Mimpi bersama dia, yang mencoba selalu hadir disisimu
Yang akan menyentuh lembut dengan kasihnya
***

Ketika Digtara terbangun, hari nampaknya sudah mulai gelap, perkiraannya menunjukkan, ini pukul 5 sore waktu pandeglang, Ia berfikir seperti itu karena di sebelah kiri masih ada suguhan pemandangan berupa pantai. “hey ganteng udah bangun?” Tanya Adam. “berapa lama gua tidur?” Digtara bertanya balik. “ya, kurang lebih 15 menit,” Adam menjawab santai. ‘15 menit? Sesebentar itu kah aku tidur?’ Pikir digtara. Sepertinya riset tentang orang yang kesulitan tidur karena jatuh cinta dan patah hati memang benar. Kali ini Digtara mengalami sendiri. “ini udah kawasan mana Dam?” Tanya Digtara. “masih pandeglang, tapi bentar lagi kita mau masuk bagian perkotaan nya” jawab Adam. “lagian wilayah pandeglang luas banget, ada kali ya 3 sampai 4 kali lipatnya Tangerang?” Adam  meneruskan ucapan nya. “iyaa, tapi rata-rata kagak ada orangnya, masih tanah kosong” Digtara menjelaskan sidikit panjang.
Digtara yang malas untuk terjaga samapai Tangerang lebih memilih tidur lagi, siapa tau dalam mimpinya dia bisa bertemu dengan neng, atau gadis yang belum dia ketahui namanya itu. Dengan memeluk mini bag milik nya, ia kembali tertidur pulas.
***
Digtara kembali terbangun saat mereka sudah berada di jalan tol. Suasana jalan yang masih gerimis membuat Digtara enggan untuk kembali tidur. Ia menatap jauh keluar jendela. Ke arah lahan kosong yang masih terlihat hijau. Pikirannya masih melayang entah kemana, seperti masih mencoba mengingat wajah gadis yang tersandar di pohon rindang. Atau kembang desa asal pandeglang. Kalau memang jodoh tidak pergi kemana. Mengapa harus terlalu dipikirkan.
Waktu terus berlanjut, hingga mengantarkan mereka ke markas pramuka Kota Tangerang. Setelah berbenah barang, dan keperluan, juga briefing masalah kelanjutan kedepannya. Semua nya bersiap untuk pulang. Beberapa sudah ada yang di jemput oleh orang tua mereka, ada juga yang membawa motor dan naik angkutan umum, karena malas membawa kendaraan. Digtara sendiri membawa sepeda motor dari orang tuanya karena ayahnya lebih memilih menaiki motor tua yang sudah jarang di jumpai, katanya sih biar keliatan “antik’’ gitu.
Digtara mengendarai seperti dengan pikiran masih melayang, alasannya adalah karena polisi di Tangerang itu galak-galak, jadi pikiran nya bukan masalah cewe lagi, tapi karena takut di tilang. Di tambah lagi ini malem minggu, jadi galaknya semacam double gitu. Plus Digtara duitnya habis di pandeglang buat segala macem keperluan, yang ga perlu di jelasin kan?
Sesampainya di rumah Digtara di sambut dengan guyonan khas keluarganya. “jee, udah pulang tong? Kirain 2 minggu lagi di sono” ibu Digtara langsung saja bicara setelah anak nya mengucapkan salam. “kirain bapak, kamu gak pulang sampe pandeglang rame jadi kaya Tangerang?” ayahnya menimpali. “niatnya sih gitu.” jawab Digtara enteng. “Ari mana?” Digtara menanyakan adik nya. Karena kebetulan Digtara meniggalkan  keluarganya ke pandeglang tepat sehari setelah adiknya khitanan(sunatan).
“Ari lagi main keliling komplek sama yang lain” jawab Ayah. “seminggu engga berantem kita, panggil aja anaknya.” Digtara bicara sambil tersenyum ringan. “gini nih, jauh bau melati, deket bau busuk, emang sama dimana -mana” ibu digtara menyaut. Digtara tertawa, setelah itu masuk kamar untuk istirahat sepenuh nya hari ini.
Bukan tidur, namun kembali dalam lamunan seluas laut pandeglang, terbayang kembali 2 orang gadis manis yang mingisi hati Digtara saat liburan kali ini. Dia baru ingat dia baru saja mendownload lagu baru oleh-oleh dari perkemahan kemarin. Ia menyetel 2 lagu tersebut. “cinta sebatas patok tenda” dan “cinta simpul mati”. Lagu galau khas anak pramuka. Hingga akhir nya kedua lagu tersebut sukses membawa digtara ke alam mimpi.
Digtara bangun dengan ke adaan di tendangi oleh adik nya yang masih berumur 5 tahun, sepertinya bukan hanya sang kakak saja yang kangen bertengkar dengan adik nya. “woi, bangun! kalo ngga nanti rejeki lo di patok sama ayam..” teriak adiknya. “sialan lu, kita kagak punya ayam, udah sono sono.” Digtara mengusir adik nya dan menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh nya. “lu malah jadi kaya orang mati kalo di tutupin semua kaya gitu, bangun woi.” sepertinya Ari belum mau pergi dari hadapan kakaknya yang lama menghilang. Digtara langsung menyibakkan selimut, dengan cepat memegang lalu meremas kepala adik nya. Ari yang sadar, tidak sempat mengelak, dibandingkan kecepatan kakaknya dia kalah saing begitu jauh.
“nah sekarang lu pergi main game duluan oke, nanti gua nyusul waktu jam dungeon khusus udah kebuka.” kata Digtara pelan sambil melepaskan tangannya. “tapi ini udah jam setengah 12, dungeon khusus udah lewat 2 kali, sebentar lagi yang ke 3?” jawab adik nya polos.
Digtara melirik jam dinding kamar nya, benar jam setengah 12. lima detik kemudian dia baru sadar bahwa event game sedang berlangsung, secepat kilat dia lari ke depan komputer di ruang tengah, “woii gua duluan yang main..” teriak adik nya sambil mengejar digtara yang sudah menghilang.
“awas, gua duluan yang main, yang bangun gua duluan” teriak Ari sambil menarik -narik baju kakaknya agar minggir dari kursi, tapi hanya badan Digtara saja yang bergoyang, sementara Ia tetap duduk dan log on ke dalam game. “apaan sih gua duduk duluan, berarti gua main duluan” kata Digtara tak acuh. “apa lu, kalo ngga gua bangunin lu kagak bakal bangun Alis” kata adik nya tak mau kalah. “udah sono lu main gambaran dulu sama temen-temen lu, ahh” Digtara juga tak mau kalah.
“Ari, kasih kakaknya dulu, kangen dia sama komputer udah seminggu engga megang” tiba-tiba ibu sudah ada di belakang mereka berdua. Digtara tersenyum simpul “dah sono main jauh -jauh,” usir Digtara. “dish, males dish lahh..” ari ngedumel lalu keluar rumah.
Sementara loading ia cheking e-mail dan menemukan beberapa e-mail yang seperti undangan. “dari Gilang, bakar-bakar, bosen” gumam Digtara. “dari Asya, suruh dateng ke rumahnya nasi tumpeng, males” ucap Digtara “dari Anggit makan-makan tanggal 1, pengen tidur aja” ucap Digtara lagi, hingga ada satu pesan yang membuat mata nya terbelalak, dari Adel, e-mail itu berisi “Alis, kita malem tahun baru di undang ke markas pramuka Kota Tangerang, bakar-bakar ayam, sama manggang danging, dateng ya, oh iya, tolong sebarin juga ke semua nya. Makasih”
Kembali bertemu dengan sekumpulan orang gila dari Pramuka Tangerang, ini jarang terjadi, apalagi dalam waktu sesingkat ini. Digtara tak sabar menunggu datangnya esok malam. Pesta sederhana semalam suntuk. Hati Digtara dag dig dug der dor duar. Akan ada apa kejutan esok malam. Ia berharap ada sesuatu yang istimewa, walau memang tidak bisa bertemu gadis dari serang atau pandeglang, tak mengapa menurutnya.
***
Siang ini Digtara salah tingkah, menunggu memang membuat efek emosinal yang berbeda pada setiap orang yang merasakan, jika Digtara akan mengalami sakit perut abnormal ketika gugup, mungkin akan lain dengan apa yang anda rasakan. Jam masih menunjukkan pukul 3 sore, namun Digtara sudah mandi dan bersiap, ibu nya yang kebingungan bertanya maksud perbuatan nya. “kan jarak dari sini ke Tangerang jauh mah kalo naik sepeda” jawab Digtara, “tapi engga harus jam 3 seperapat kaya gini udah mandi juga kali, lebayy maksimal banget” ibu Digtara kembali ke belakang setelah berkata demikian. Digtara sedikit berpikir, apa iya ini berlebihan? Ahh sudahlah, dia mulai berpikir untuk mengunjungi Cisadane sebelum dia ke markas Pramuka.
Setelah berpamitan dia segera tancap pedal sepeda nya dan melaju dengan santai, tepian jalanan sudah mulai ramai, bukan karena untuk menyambut tahun baru, tapi karena ini jam pulang kerja.
Spanduk-spanduk dari partai politik ikut meramaikan peringatan tahun baru ini, dengan tulisan sebesar mungkin, yang bertuliskan, “KAMI YANG PALING MENGERTI RAKYAT” dan lain-lain. Gantungan-gantungan yang mulai menghiasi pinggiran jalanan yang mungkin          sudah terpasang sejak Digtara kembali dari pandeglang. Pedagang petasan hampir merata di setiap sudut jalan, penjual terompet dadakan dimana-mana untuk beberapa hari terakhir ini.
Cisadane, sungai yang membelah daerah Tangerang Raya menjadi 2 bagian, antara timur, sebagian dari Kota Tangerang, sedangkan bagian barat, ada sebagian dari Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.
Digtara berdiri di belakang pagar besi yang membatasi tepian jalan setapak yang sengaja di buat di pinggir sungai. Sambil menyedot minuman kesukaan nya di tempat ini, es liang teh. Sambil mengamati arus sungai yang akan mengalir menuju pintu air 10. Digtara membayangkan momen-momen beberapa tahun silam bersama seluruh kawannya ketika mereka masih SMP.
Mereka duduk dan berfoto ria diatas pagar yang sekarang sedang ia sandari. Perlahan bayangan halus muncul dimata Digtara, berjalan perlahan dari ujung ke ujung jalan setapak ini. Bercengkrama ria, tertawa renyah, gurih ,sampai garing dan melempem juga mereka rasakan. Momen yang kini mungkin tidak bisa terulang setelah mereka terpencar masuk dalam sekolah favorit di kota ini.
Dan jam baru menunjukkan pukul 5 sore, masih banyak waktu sampai waktunya berkumpul nanti, tapi tidak banyak waktu untuk Digtara sholat ashar, kemudian ia menuju masjid dekat tempat ia bersantai, tak lama dan tak sulit, karena ia sudah hafal denah lokasi di daerah sini.
***
Setelah ashar Ia kembali melanjutkan perjalanan, Ia melirik jam yang ada di tangannya, setengah 6 sore, waktunya cukup, Ia berpikir untuk sholat maghrib di alun-alun kota. “pasti volume kendaraan akan tinggi” gumamnya dalam hati. Ketika di jalan protokol apa yang jadi pikirannya memang benar, banyak orang sudah berpakaian rapih untuk menghadiri pesta, atau untuk sekedar jalan-jalan sore. Ia tak peduli ia tetap mengayuh sepedanya sampai ke alun-alun. Dan sholat maghrib di sana.
Setengah 7 malam ia sudah ada di markas cabang. Sepi tak ada orang, penjagapun sepertinya sedang berlibur bersama keluarga, “Digtara!” seseorang memanggil dari lantai 5 gedung Windu Karya, Digtara cepat memarkir dan naik ke lantai 5 lewat tangga samping.
Dengan nafas masih senin-kamis “Cuma lu doang Del?” tanya Digtara. “yang lain masih pada di jalan katanya” jawab Adel singkat “sini istirahat dulu aja.” sambung nya. Digtara duduk di sebelah kiri Adel, bersandar ketembok dan menghembuskan nafas lega. Mereka berdua bicara dan bercanda hingga yang lain tiba dengan sendirinya.
Ada perasaan berbeda jika Digtara dekat dengan adel, sejak dulu, aneh memang, ada rasa tidak suka jika adel bicara dengan teman laki-laki yang lain. Sementara dia bukan siapa-siapa. ‘Ahh, mungkin hanya perasaan yang kebetulan lewat saja.’ Hanya kalmiat itu yang bisa menepis perasaan anehnya pada Adel.
“hey ke alun-alun yuk, rame tau disana” ajak Adel sembari berdiri. “iya tadi gua udah liat” jawab Digtara singkat sambil berdiri juga. “lagian yang lain datengnya lama semua” lanjut Digtara. “katanya kalo dateng jam 7 kecepetan Lis, jadi mereka ada yang agak malem datengnya” jelas Adel.
Sesampainya mereka di alun-alun mereka di kagetkan dengan suasana yang sangat jarang terjadi “ini kaya hari minggu pagi ya Del” kata Digtara dengan mulut terbuka. “iya rame banget ga kaya biasanya” Adel juga ikut melongo. Sekejap kemudian mereka bertatapan, dan kemudian saling kejar mengejar di alun-alun kota, mereka tertawa lepas, seperti tak ada beban dalam pikiran.
“mau gulali ngga?” Tanya Digtara, “beliin tapi ya?” Adel balik bertanya, “berapaa sihh sini gua beliin.” kata Digtara sambil memegang lalu menarik tangan Adel tanpa sadar. Setelah membeli satu gulungan gulali mereka duduk di pinggiran lapangan yang sedikit bertingkat itu.
“nihh lu makan duluan.” kata Digtara. “elu yang beli, lu duluuan atuh” Adel menolak makan duluan. “gua pengen liat cara makan lu” jelas Digtara. “yaudah sini.” Adel akhirnya mengalah, gulungan gulali besar itu ia makan seperti makan daging dari paha ayam, Digtara tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Adel yang jadi berantakan karena gulali yang membuatnya semakin lucu.
“cara makannya engga gitu, jelek. kaya gini nih.” lalu digtara mengambil secuil dari gulali dan menyuapi Adel, kemudian membersihkan bekas -bekas gulali yang masih terisisa di pipi Adel. Sejenak mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berbeda di tatapan keduanya. Kemudian keduanya saling tertawa sebentar, lalu kemudian terdiam, dan hening diantara mereka berdua.
Sementara itu Adel ingat kalau Digtara belum mencicipi manisnya gulali yang ia beli, “sini -sini lu belum makan, gantian dongg.” kata Adel memecahkan keheningan. Lalu ia mengambil secuil dan menyuapi Digtara. Sesaat mata mereka bertemu kembali tapi kali ini tidak di warnai keheningan, tangan Digtara yang tadi nya memegang batang kayu gulali, sekarang memegang tangan adel, “adel gua mau bilang sesuatu. tapi lu jangan marah yaa?” kata Digtara lirih.
“ihh apaan sih, serius banget, mau bilang apa emangnya?” Adel menarik tangannya. “Del, kalo gua suka sama  lu gimana del?” kata Digtara. “lu ? suka sama gua? Ya ngga kenapa-kenapa.” jawab Adel enteng. “emang lu beneran suka sama gua?” Adel meneruskan dengan nada sedikit berbeda. “kalo iya apa buktinya?” Adel meneruskan
“bukti ya? Mm… gua ga punya tapi...” Digtara menjawab dengan terbata-bata, “tapi apa? Kalo ga punya bukti gausah bilang harus nya.” Adel nyerocos. “lu mau ngga jadi pacar gua Del?” kata-kata itu dengan sendirinya keluar dari mulu Digtara. “maaf ya Digtara, gua engga mau.” nada ucapan Adel barusan sepeti hujan pedang, linggis, sampai golok menghujam hati Digtara “mm.. yaudah gapapa ko kalo gitu.” jawab Digtara sedikit kecewa. “heh sialan  lo ya.. gua belom kelar!” Adel membentak digtara sambil berdiri. “terus apa lagi del. hah? Kurang apa? Kalo ngga mau yaudah jangan bikin orang jadi tambah sakit hati” Digtara juga ikut berdiri.
Beberapa mata menuju kearah mereka, walaupun  tidak lama, “maksud gua itu gua ngga mau kalo kita Cuma jadi temen doang..” nadanya memelan, menjadi lembut dan manja seperti ada angin sejuk menghembus alun-alun.
Tanpa sadar Digtara sudah memeluk adel yang belum selesai bicara. Semakin banyak mata tertuju pada mereka, tapi Digtara seolah tak peduli, ia ingin memeluk adel dan serasa tak ingin melepaskannya. Seseorang yang benar -benar bisa paham apa yang dirasakannya. “makasih adel, makasih banyak” ucap Digtara. “gua sayang sama lu del, gua baru sadar kalo sayang gua berujung ke elu” sambung Digtara, Digtara mengucapkan kata-kata tersebut dengan sedikit titikan air mata. Adel yang menyadari hal tersebut karena pundaknya basah, melepaskan pelukannya. “udah jangan nangis lagi, aku bakal ada di sini buat kamu, selalu disini” Adel tersenyum sambil mengusap air mata Digtara.
“heyy, kalian disini?? Kita cariin dari tadi tau, di windu karya, gua kira kalian ngga dateng” Syahid tiba-tiba ada di samping mereka berdua, di ikuti yang lainnya, “ehem cie berduaan aja” Kak Sodiq meledek Digtara dan Adel.
“kata Kak Sodiq, kita bisa main-main dulu disini sampe nanti jam setengah satuan, sekarang masih jam 10 kok tenang aja masih lama, kita juga belum mulai bakar -bakarnya” ujar Syahid menjelaskan. Mereka berdua tersenyum, “ayo, jangan diem aja” ajak syahid “yang lain udah pada ke sana tuh” lanjutnya.
Digtara dan Adel mengikuti yang lainnya, berjalan perlahan dan bergandengan tangan sambil tersenyum bahagia. Kemudian berlari mengejar yang lainnya di iringi tawa ringan mereka berdua. Kembang api mekar di langit alun-alun Kota Tangerang membuat suasana menjadi seperti surga untuk mereka berdua.

***

Biarkan cinta kita erat bagai simpul mati
Misteri bagai sandi rumput dan kokoh bagai pionering
Kuingin engkau tau besarnya rasa cintaku
Menyala bagai api unggun, abadi seperti tunas di dadaku

*****

1 komentar: