MICHI
(KHAIRUNNISA B.A)
“dadah, aku mau
berangkat sekolah dulu ya. Nanti kamu tunggu aku di deket jalan ini lagi yaa.”
Masa kecilku jauh
berbeda dengan masa kecil anak-anak sebaya ku. Biasanya anak-anak seusiaku
tengah asyik bermain dengan teman sepermainan mereka. Bermain boneka, petak
umpat, dan permainan anak-anak pada umumnya. Kerap kali ibuku menemuiku tengah
asyik bermain boneka sendirian. Ibu hanya mengira kalau aku sedang asyik
berceloteh untuk menuangkan imajinasiku.
Orang-orang sekitarku
sudah tak heran melihatku saat aku tengah berbicara sendiri sambil bermain, meski
tak ada orang yang menemaniku. Mungkin mereka berpikir “ah, namanya juga anak
kecil” tapi, saat aku masuk kebangku
sekolah dasar, kebiasaanku ini kurang dapat diterima oleh teman-temanku. Mereka
menganggapku “anak aneh” bahkan mereka menjauhiku dan menganggapku “gila”.
Saat itu, aku merasa ya
biasa-biasa saja. Toh, aku juga sering bermain sendiri. Aku juga takkan
merasakan kesepian. Karena ada temanku yang selalu bersamaku. Mungkin kebersamaan
kami ini bisa di nomonasikan sebagai “best friend award”. Karena kami selalu
kemanapun bersama. Dia juga selalu disampingku. Dia selalu mengikutiku
kemanapun aku pergi. Aku senang bersamanya. Tapi entah kenapa, setiap orang
yang melihat aku dan temanku sedang asyik mengobrol, mereka melihatku dengan
tatapan “keanehan”. Tapi, ya biarkanlah. Aku hanya menganggap mereka sebagai
orang-orang yang iri atas kebersamaanku dengan temanku.
Lambat laun
teman-temanku makin penasaran denganku. Waktu itu, aku dipanggil oleh temanku
yaitu Sally dan Mira “Firda, sini deh” sambil melambaikan tangannya padaku yang
sedang duduk ditempat dudukku. “aku?” balasku agak bingung. “iya, kamu. Cepet
kesini!” balas Sally. Aku langsung mendekat kearah mereka. “sini duduk” kata Mira
sambil mempersilahkan aku duduk di dekat mereka. “Fir, gue perhatiin kelakuan
lu kok aneh ya?!” Tanya Sally. “aneh? Aneh gimana?” tanyaku bingung. “iya, lo
udah duduk paling belakang, suka ngomong sendiri lagi!” Tanya Mira. “iya, lu
kok suka menyendiri sambil ngoceh sendiri gitu sih Fir?!?” selak Sally. “hahah
kalian ngaco ya? Aku gak ngomong sendiri kali. Aku juga gak pernah sendiri kok”
balasku dengan tertawa. “hah?
Lu sarap? Gue tuh ya bingung aja sama lu, dari kita kelas satu lu bersikap aneh kayak gini. Malahan gue sampe nganggap kalo lu tuh gila tau”. Balas Sally. “kalian baru bangun tidur ya? Hahaha sampe-sampe gak liat kalo ada temenku yang dari tadi berdiri disampingku?” balasku. “hah? Temen lu Fir? Kita ini Cuma bertiga wey. Lu gausah bercanda kek!” balas Mira dengan nada yang agak tinggi. “tau lu jangan bercanda gitu dong!” sambung Sally. “aku gak bercanda. Emang dari tadi kita ber-empat. Emang kalian gak liat temen aku?” jawabku agak sedikit heran. “Fir? Ciyus? Miapah? Lu tuh dari kelas satu ngoceh sendiri Fir!” balas Sally gemetar.
Lu sarap? Gue tuh ya bingung aja sama lu, dari kita kelas satu lu bersikap aneh kayak gini. Malahan gue sampe nganggap kalo lu tuh gila tau”. Balas Sally. “kalian baru bangun tidur ya? Hahaha sampe-sampe gak liat kalo ada temenku yang dari tadi berdiri disampingku?” balasku. “hah? Temen lu Fir? Kita ini Cuma bertiga wey. Lu gausah bercanda kek!” balas Mira dengan nada yang agak tinggi. “tau lu jangan bercanda gitu dong!” sambung Sally. “aku gak bercanda. Emang dari tadi kita ber-empat. Emang kalian gak liat temen aku?” jawabku agak sedikit heran. “Fir? Ciyus? Miapah? Lu tuh dari kelas satu ngoceh sendiri Fir!” balas Sally gemetar.
Setelah mendengar
penjelasan dari kedua temanku, rasanya jantungku berhenti berdetak. Rasanya
darahku juga berhenti mengalir. “kalian gak bercanda kan? Ini kalian gak liat
te…” ucapanku terhenti saat aku ingin melihat temanku. “hah? Kamu dimana? Kamu
jangan ngumpet dong. Ayo kamu dimana?” teriakku sambil melihat keseluruh
ruangan. “Fir, lu udah gila ya? Lu nyari siapa? Serius kita gak ngeliat siapa-siapa
dari tadi kita itu cuma ngeliat lu” balas Sally. “nggak, nggak. Aku lagi nyari
temenku. Tadi dia ada disini!” jawabku. “emang temen lu ciri-cirinya gimana
sih?” tanya Mira. “rambutnya panjang, dibawah matanya agak sedikit hitam. Kamu
liat dia?” Tanya ku agak cemas. “ng?!? enggak. Gue gak liat Fir! Ah gue ngeri
lama-lama sama lu. Udah ah gue mau pulang dulu ya udah bel tuh dari tadi.”
Akhirnya mereka pulang. Cukup lama kami mengobrol, sampai-sampai aku tak sadar
kalau tinggal aku sendiri yang ada dikelas. Akhirnya aku memutuskan untuk
pulang. Aku merasa kesepian. Sepi. Sangat sepi. Setelah kejadian itu, aku tak
lagi menemukan Nony temanku. Dia menghilang seperti tersapu angin. Setelah
lulus sekolah SD, rencananya aku akan pindah ke luar Kota. Tapi, mungkin nanti
aku akan berkunjung ke rumah lamaku lagi.
Sepuluh tahun kemudian,
aku menepati janjiku. Aku kembali berkunjug ke rumah lamaku. Waktu liburanku
aku habiskan untuk berjalan-jalan dan menemui teman SDku yang masih menetap di
daerah itu. Saat itu, aku sedang jalan-jalan melewati jalan yang tak terlalu
asing untukku. Walau masih samar kuingat. Ya, aku ingat, ini jalan menuju ke
SDku dulu.
Sesampainya aku di
bangunan tua itu, aku melihat ada mang Mamat yang sedang menyapu halaman gedung
tua itu. “mang, sibuk bener keliatannya. Boleh dibantuin?” tanyaku. “loh? Eneng
teh saha nyak? Kaya pernah kenal” jawabnya. “saya Firda mang, yang dulu sekolah
disini” balasku sambil tersenyum. “oh, eta the neng Firda, maaf atuh, mamang
teh pangling neng” jawabnya. Aku dan mang Mamat berjalan sambil mencari tempat
duduk untuk mengobrol.
“mang, itu siapa yang
belum pulang mang?” tanyaku agak heran. “hah? Mana neng Firda? Anak-anak udah
pada pulang semua kok neng” jawab mang Mamat bingung. “itu mang yang lagi
duduk, Firda kesana dulu ya mang” jawabku “yaudah atuh, silahkan neng” jawab
mang Mamat. Aku langsung pergi meninggalkan mang Mamat.
“hei, nama kamu siapa?
Kok kamu belum pulang?” tanyaku pada anak itu. “aku menunggu seorang temanku”
jawab anak yang duduk membelakangiku itu. “boleh aku duduk? siapa nama
temanmu?”tanyaku antusias. Anak itu mengangguk. “Firda” jawabnya singkat.
“hahaha namanya sama sepertiku” jawabku riang. “lalu siapa namamu?” lanjutku.
Anak itu diam sejenak, lalu dia membalikan tubuhnya kearahku. Sontak aku kaget.
Rasanya kepalaku ingin pecah. Anak kecil itu adalah Nony temanku dulu. “aku
menunggu kamu Frida” jawabnya. “ka.. kamu? Kemana kamu selama ini? Aku
menunggumu. Aku mencarimu!”. Jawabku dengan suara lumayan parau. “tidak kamu
bohong Firda! Aku selalu disini, aku selalu ada disampingmu. Aku menunggumu.
Aku selalu disini. Menunggu kamu kembali. Aku mencari kamu!!”. Jawabnya dengan
nada tinggi. “tapi kamu yang menghilang Nony!” jawabku sambil menahan tangis.
“maafkan aku” sambungku sambil berjalan memeluk Nony. Aku kaget. Tubuhku
menembus tubuh Nony. A.. aku bingung. Perasaanku campur aduk. Aku sedih kenapa
aku tak dapat memeluk tubuh Nony. “Nony… ke.. kenapa?” tanyaku. “jadi kamu
belum menyadarinya? Sebenarnya, aku selalu bersamamu. Hanya kamu yang tidak
melihatku. kamu mulai tumbuh besar. Aku takut kamu tak lagi mau bersamaku. Aku
terus menjaga kamu. Aku terus berjalan disamping kamu. Tapi benar saja, semakin
kamu besar, kamu tak dapat lagi melihatku” jelas Nony. “hah? Gimana bisa? Aku
gak ngerti kenapa bisa gini” tanyaku. “aku dan kamu berbeda. Aku hanya makhluk
yang tak ber-raga yang selalu bersamamu dulu. Aku kesepian. Saat itu, aku
sedang berjalan, lalu aku melihat potensi yang ada di diri kamu. Jadi aku
putuskan untuk mendekati kamu. Aku ini bukan manusia Firda!” katanya sedikit
teriak. “jadi… kamu ini..”. “iya, aku hanya makhluk halus yang tak akan pernah
besar dan hanya ingin berteman denganmu” selaknya. “ta.. tapi kenapa aku bisa
melihatmu lagi?”. “ini takdir yang aku tunggu-tunggu. Aku menunggumu disini.
Selalu menunggumu sampai saat ini. Sampai kamu kembali. Dan aku sekarang disni,
untuk mengucapkan selamat tinggal sama kamu Firda. Sebenarnya potensi kamu itu
masih ada. Hanya, kamu belum siap untuk menggunakannya”. Jelas Nony. “nggak.
Kita baru aja ketemu lagi. Aku masih mau kok main boneka sama kamu. Jalan
bareng lagi sama kamu. Aku mau kayak dulu lagi!!!”jawabku sambil menangis. “aku
sudah janji pada diriku Firda. Setelah aku menemukanmu, aku akan kembali ke
peristirahatanku” balasnya dengan nada parau. Seperti orang menangis. Tapi,
hanya saja air matanya tak dapat keluar lagi. “Nony, jangan pergi!!!! Tetap
disini. Aku sayang sama kamu Nony. Kita masih bisa main kan? Jangan pergi. Aku
masih mau ketemu sama kamu” kataku sambil berurai air mata. “kalau kamu kangen
dan mau bertemu denganku, kamu bisa datang ke pemakamanku. Kamu datang ke
pemakaman seroja, disana kamu cari pohon kamboja yang paling banyak bunganya.
Itu makamku. Jangan lupa mengunjungiku yaa!” pinta Nony. “pasti! Aku janji akan
sering datang ke pemakamanmu” jawabku sambil menyeka air mataku. “tepati
janjimu ya, seperti aku menepati janjiku menunggumu disini. Sampai jumpa Firda”
kata Nony dan akhirnya dia menghilang. Aku terdiam sejenak. Aku menenangkan diriku
dulu. Setelah kurasa cukup tenang, aku pamit pulang dengan mang Mamat.
Saat di perjalanan
pulang, “awas dek” teriakku sambil memeluk adik kecil yang hampir terserempet
mobil itu. Dan saat aku lihat wajahnya, aku terkejut! Wajahnya mirip seperti
Nony. Aku memeluknya erat. Dan aku antar adik kecil itu pulang kerumahnya.
Dalam hati aku bicara sendiri “Nony, ini kah kamu? Inikah caramu agar aku tak
kesepian? Terimakasih teman. Aku akan selalu ingat padamu. Terimakasih Nony,
kamu teman terbaik yang pernah ada. Walau kamu, Teman beda alamku”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar